TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
A PENGERTIAN DAN TUJUAN KONSTRUKTIVISME
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
B. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar s esuatu idea
Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomimurid
Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
Menganggap pembel ajaran sebagai suatu proses yang sama penti ng dengan hasil pembel ajaran Menggalakkan proses inkuirimurid mel alui kajian dan eks perimen.
PENDIDIKAN SENI VISUAL
C. PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
1.Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2.Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
3.Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
4.Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancer
5.Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
6.Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. mencari dan menilai pendapat siswa
8.Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
D. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
a.Kelebihan
Berfikir :Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
b.Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Kepemimpinan Transformasional
Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, et.al., 1999 seperti dikutip oleh Tjiptono dan Syakhroza, 1999).
Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru (Locke, 1997).
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997).
Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avolio, 1990; Hater dan Bass, 1988, seperti dikutip oleh Hartanto, 1991).
Bass (1990) dalam Hartanto (1991) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence - Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.
Tjiptono dan Syakhroza (1999) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.
Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Dubinsky, Yamarino, dan Jolson (1995) yang meneliti manajer-manajer penjualan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menolak hipotesis yang didasarkan pada teori terdahulu, yaitu karakteristik personal berhubungan dengan kepemimpinan transformasional atau tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik personal dengan kepemimpinan transformasional. Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara teori kepemimpinan dengan hasil penelitian, sehingga ketiga peneliti tersebut menyarankan agar penelitian mereka diuji kembali dengan obyek penelitian yang berbeda.
Sebagai bentuk penelitian replikasi, penelitian ini telah meneliti pelaku organisasi pendidikan yang memiliki perbedaan karakteristik dengan penelitian sebelumnya. Secara garis besar ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin, sedangkan seluruh dimensi kepemimpinan transformasional 'karismatik', 'motivasi inspirasional', 'stimulasi intelektual', dan 'konsiderasi individual' berhubungan paling erat dan searah dengan karakteristik personal tingkat pendidikan pemimpin.
Walaupun tidak ada hubungan yang berarti antara dimensi kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin pada organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, organisasi tetap harus memperhatikan hubungan dari kedua variabel ini karena karakteristik personal tidak hanya terbatas pada pengalaman (experience), tetapi juga meliputi derajat kemampuan pemimpin menghadapi kegagalan dan memiliki kekuatan pribadi (emotional coping), derajat kemampuan pemimpin mendukung perilaku yang efektif dan memelihara rasa optimis (behavioral coping), kemampuan pemimpin untuk menyalurkan dan mengevaluasi ide kritis (abstrak orientation), derajat kesediaan pemimpin untuk menerima tantangan (risk taking), kesediaan pemimpin untuk mecoba hal baru dan menantang status quo (inovation), derajat kemampuan pemimpin menggunakan humor untuk menyenangkan bawahannya (use of humor) (Dubinsky, Yammarino, Jolson, 1995).
Proses penempatan pada jabatan dekan, kepala lembaga, kepala unit, kepala pusat, direktur program, ketua program, kepala bagian perlu dilakukan identifikasi terhadap potensi kepemimpinan transformasional dari calon pemimpin yang akan menduduki jabatan tersebut. Proses penempatan dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara personal, maupun tes oral dan tertulis menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) untuk mendeteksi potensi kepemimpinan transformasional yang dimiliki.
Program pengembangan dan pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan transformasional perlu juga diupayakan karena individu bukan dilahirkan menjadi pemimpin transformasional, melainkan melalui pengalaman hidupnya akan mampu mengembangkan karakteristik dan membangun keahlian kepemimpinan transformasionalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih c. asri, DR,2005, belajar dan pembelajaran,rineka cipta, Jakarta.
Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, Maret 2005
Fuad Efendy, Ahmad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat 2005
Hambali, Muh., Tahun Ajaran Baru, Menyoal Iklim Pembelajaran, dalam harian Kompas 19 Juni 2006
Inganah, Siti, dkk, Belajar dan Pembelajaran, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press), September 2004
Muhaimin, dkk, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: CV Mitra Media, Juni 1996
Nurhadi, dr, M.pd,burhan yasin, Dip.Bis.Ad., M.ed, Drs. Agus gerrad senduk, M.Pd, 2004, Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam Kbk, UM PRESS, Malang
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran; Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, September 2006
www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/Konstruktivisme