Senin, 04 Januari 2010

TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

TEORI PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

A PENGERTIAN DAN TUJUAN KONSTRUKTIVISME
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain
Dari keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

B. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
Menggalakkan soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
Menyokong pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
Mengambilkira dapatan kajian bagaimana murid belajar s esuatu idea
Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomimurid
Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru
Menganggap pembel ajaran sebagai suatu proses yang sama penti ng dengan hasil pembel ajaran Menggalakkan proses inkuirimurid mel alui kajian dan eks perimen.

PENDIDIKAN SENI VISUAL
C. PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah :
1.Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
2.Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
3.Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
4.Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancer
5.Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
6.Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. mencari dan menilai pendapat siswa
8.Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.

Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.

D. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
a.Kelebihan
Berfikir :Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.

b.Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.

Kepemimpinan Transformasional

Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, et.al., 1999 seperti dikutip oleh Tjiptono dan Syakhroza, 1999).

Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo. Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.

Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru (Locke, 1997).

Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass, 1985; Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997).

Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avolio, 1990; Hater dan Bass, 1988, seperti dikutip oleh Hartanto, 1991).

Bass (1990) dalam Hartanto (1991) beranggapan bahwa unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence - Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation), (3) meningkatkan intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih setiap orang secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin yang seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai pemimpin yang efektif dan memuaskan.

Tjiptono dan Syakhroza (1999) mengemukakan bahwa pemimpin transformasional bisa berhasil mengubah status quo dalam organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.

Penelitian ini merupakan replikasi penelitian Dubinsky, Yamarino, dan Jolson (1995) yang meneliti manajer-manajer penjualan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menolak hipotesis yang didasarkan pada teori terdahulu, yaitu karakteristik personal berhubungan dengan kepemimpinan transformasional atau tidak ada hubungan yang signifikan antara karakteristik personal dengan kepemimpinan transformasional. Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara teori kepemimpinan dengan hasil penelitian, sehingga ketiga peneliti tersebut menyarankan agar penelitian mereka diuji kembali dengan obyek penelitian yang berbeda.

Sebagai bentuk penelitian replikasi, penelitian ini telah meneliti pelaku organisasi pendidikan yang memiliki perbedaan karakteristik dengan penelitian sebelumnya. Secara garis besar ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin, sedangkan seluruh dimensi kepemimpinan transformasional 'karismatik', 'motivasi inspirasional', 'stimulasi intelektual', dan 'konsiderasi individual' berhubungan paling erat dan searah dengan karakteristik personal tingkat pendidikan pemimpin.

 

Walaupun tidak ada hubungan yang berarti antara dimensi kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin pada organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, organisasi tetap harus memperhatikan hubungan dari kedua variabel ini karena karakteristik personal tidak hanya terbatas pada pengalaman (experience), tetapi juga meliputi derajat kemampuan pemimpin menghadapi kegagalan dan memiliki kekuatan pribadi (emotional coping), derajat kemampuan pemimpin mendukung perilaku yang efektif dan memelihara rasa optimis (behavioral coping), kemampuan pemimpin untuk menyalurkan dan mengevaluasi ide kritis (abstrak orientation), derajat kesediaan pemimpin untuk menerima tantangan (risk taking), kesediaan pemimpin untuk mecoba hal baru dan menantang status quo (inovation), derajat kemampuan pemimpin menggunakan humor untuk menyenangkan bawahannya (use of humor) (Dubinsky, Yammarino, Jolson, 1995).

Proses penempatan pada jabatan dekan, kepala lembaga, kepala unit, kepala pusat, direktur program, ketua program, kepala bagian perlu dilakukan identifikasi terhadap potensi kepemimpinan transformasional dari calon pemimpin yang akan menduduki jabatan tersebut. Proses penempatan dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara personal, maupun tes oral dan tertulis menggunakan Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) untuk mendeteksi potensi kepemimpinan transformasional yang dimiliki.

Program pengembangan dan pelatihan untuk mengembangkan kepemimpinan transformasional perlu juga diupayakan karena individu bukan dilahirkan menjadi pemimpin transformasional, melainkan melalui pengalaman hidupnya akan mampu mengembangkan karakteristik dan membangun keahlian kepemimpinan transformasionalnya.



 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih c. asri, DR,2005, belajar dan pembelajaran,rineka cipta, Jakarta.
Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, Maret 2005
Fuad Efendy, Ahmad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat 2005
Hambali, Muh., Tahun Ajaran Baru, Menyoal Iklim Pembelajaran, dalam harian Kompas 19 Juni 2006
Inganah, Siti, dkk, Belajar dan Pembelajaran, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang (UMM Press), September 2004
Muhaimin, dkk, Strategi Belajar Mengajar, Surabaya: CV Mitra Media, Juni 1996
Nurhadi, dr, M.pd,burhan yasin, Dip.Bis.Ad., M.ed, Drs. Agus gerrad senduk, M.Pd, 2004, Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam Kbk, UM PRESS, Malang
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran; Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, September 2006
www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/Konstruktivisme

 

 

 

LANDASAN TEORI DAN KONSEP SISTEM ; STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN KONSEP DASAR POLA SISTEM BELAJAR MANDIRI

LANDASAN TEORI DAN KONSEP SISTEM ; STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN KONSEP DASAR POLA SISTEM BELAJAR MANDIRI

A. PENDAHULUAN
Teknologi pendidikan merupakan konsep yang kompleks. Ia dapat dikaji dari berbagai segi dan kepentingan. Kecuali itu teknologi pendidikan sebagai suatu bidang kajian ilmiah, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang mendukung dan mempengaruhinya. Pada awal perkembangannya (sekitar 70 tahun yang lalu), teknologi pendidikan selalu dikaitkan dengan adanya peralatan terutama yang berupa ruparungu (audiovisual). Peralatan inipun hanya berfungsi sebagai alat bantu guru dalam mengajar. Perkembangan ini disebut sebagai paradigma pertama. Perkembangan berikutnya atau paradigma kedua bertolak dari pendekatan sistem dan teori komunikasi dalam kegiatan pendidikan. Paradigma ketiga bertolak dari pendekatan manajemen proses instruksional, dimana unsur-unsur yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, dijalin secara integral. Paradigma keempat bertolak dari pendekatan ilmu perilaku, yaitu dengan memfokuskan perhatian kepada diri peserta didik agar mereka itu dapat dimungkinkan untuk be;ajar secara efektif dan efisien. Kemudian ini tercipta melalui suatu proses kompleks dan terpadu, serta dirancang dan dilaksanakan secara cermat.Paradigma baru atau paradigma kelima, merupakan perkembangan internal untuk lebih menegaskan indentitas teknologi pendidikan. Fokus teknologi pendidikan adalah memecahkan masalah belajar yang bertujuan, terarah dan terkendali.

Oleh karena itu istilah ”teknologi pendidikan” dipersempit menjadi ”teknologi pembelajaran”. Berdasarkan perkembangan paradigma yang terakhir ini, maka definisi teknologi pembelajaran adalah teori dan praktik dalam merancang, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai proses dan sumber untuk belajar. Secara operasional teknologi pendidikan dapat dikatakan sebagai proses yang bersistem dalam membantu memecahkan masalah belajar pada manusia. Kegiatan yang bersistem mengandung dua arti, yaitu pertama yang sistemik atau beraturan, dan kedua yang sistemik atau beracuan pada konsep sistem. Kegiatan yang beraturan adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan yang dilakukan dengan langkah-langkah mengkaji kebutuhan itu sendiri terlebih dahulu, kemudian merumuskan tujuan, mengidentifikasikan kemungkinan pencapaian tujuan dengan mempertimbangkan kendala yang ada, menentukan kriteria pemilihan kemungkinan, memilih kemungkinan yang terbaik, mengembangkan dan menguji cobakan kemungkinan yang dipilih, melaksanakan hasil pengembangan dan mengevaluasi keseluruhan kegiatan maupun hasilnya. Pendekatan yang sistemik adalah yang memandang segala sesuatu sebagai sesuatu yang menyeluruuh (komprehensif) dengan segala komponen yang saling terintegrasi. Keseluruhan itu lebih bermakna dari sekadar penjumlahan komponen-komponen. Tiap komponen mempunyai fungsi sendiri, dan perubahan pada tiap komponen akan mempengaruhi komponen lain serta sistem sebagai keseluruhan. Pendekatan ini juga memperhatikan bahwa pendidikan sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai lapis sistem: makro, meso dan mikro. Pendidikan di dalam kelas merupakan lapis terbawah atau terkecil atau suatu sistem mikro. Sedangkan pendidikan nasional merupakan sistem makro atau yang paling atas.Masalah belajar yang dipecahkan banyak ragamnya. Ada masalah dalam skala mikro, yaitu masalah yang dihadapi guru dalam satu kelas untuk mata pelajaran tertentu, dan ada masalah makro, yaitu masalah pendidikan nasional, misalnnya ketersediaan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan lanjut. Pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Pengertian ini dibedakan dengan pengajaran yang telah terlanjur mengandung arti sebagai penyajian bahan ajaran yang dilakukan oleh seseorang pengajar. Pembelajaran tidak harus diberikan oleh pengajar, karena kegiatan itu dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar, misalnya seorang teknolog pembelajaran atau suatu tim terdiri dari ahli media dan ahli materi ajaran tertentu. Keberhasilan proses belajar mengajar dapat terjadi dari upaya berbagai komponen dan salah satunya adalah strategi pembelajaran, yang menjadi salah satu bahan kajian dalam teknologi pendidikan. Semua bentuk teknologi adalah sistem yang diciptakan manusia untuk sesuatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya, meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga serta sumber daya yang ada. Setiap teknologi, tidak terkecuali teknologi pendidikan, merupakan proses untuk menghasilkan nilai tambah, sebagai produk atau piranti untuk dapat digunakan dalam aneka keperluan, dan sebagai sistem yang terdiri atas berbagai komponen yang saling berkaitan untuk suatu tujuan tertentu. Melihat penjelasan diatas untuk itu penulis mengakat tema ”Strategi Pembelajaran dengan Konsep Dasar Pola Sistem Belajar Mandiri”. Dengan tujuan penulisan untuk mengetetahui strategi pembelajaran dengan Konsep Dasar Pola Sistem Belajar Mandiri.

B. PEMBAHASAN
Dalam konsep teknologi pendidikan, dibedakan istilah pembelajaran (instruction) dan pengajaran (teaching). Pembelajaran, disebut juga kegiatan pembelajaran instruksional, adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik yang biasanya berlangsung dalam situasi resmi atau formal. Reigeluth dan Merrill (1983) berpendapat bahwa pembelajaran sebaiknya didasarkan pada teori pembelajaran yang bersifat preskiptif, yaitu teori yang memberikan ”resep” untuk mengatasi masalah belajar. Teori pembelajarn yang prespektif itu harus memerhatikan tiga variabel, yaitu variabel kondisi, metode, dan hasil.2) Kerangka teori instruksional itu dapat digambarkan sebagai berikut : Kondisi Karakteristik Pelajaran Karakteristik Siswa Pembelajaran Tujuan Hambatan [Photo] [Photo] [Photo] Metode Pengorganisasian Bahan Pelajaran Strategi Penyampaian Pengelolaan Kegiatan Pembelajaran [Photo][Photo] [Photo][Photo] [Photo] Hasil Pembalajaran Efektivitas, efisiensi, dan daya tari pembelajaran Gambar 1. Kerangka Teori Pembelajaran (Diadaptasi dari Yusuf Hadi Miarso, 2007 : 529) Karakteristik siswa meliputi pola kehidupan sehari-hari, keadaan sosial ekonomi, kemampuan membaca, dan sebagainya. Karakteristik pelajaran meliputi tujuan apa yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut, dan apa hambatan untuk pencapaian itu. Misalnya saja kemampuan berbahasa Inggris yang umumnya lemah merupakan hambatan untuk mempelajari teks berbahasa Inggris. Pengorganisasiaan bahan pelajaran, meliputi antara lain bagaimana merancang bahan untuk keperluan belajar mandiri. Strategi penyampaian meliputi pertimbangan panggunaan media apa untuk menyajikan nya, siapa dan atau apa yang akan menyajikan, dan sebagainya. Sedang pengelolaan kegiatan meliputi keputusan untuk mengembangkan dan mengelola serta kapab dan bagaimana digunakannya bahan pelajaran dan strategi penyampaian. Berdasarkan kerangka teori itu setiap metode pembelajaran harus mengandung rumusan pengorganiasasian, bahan pelajaran, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan, dengan memerhatikan faktor tujuan belajar, hambatan belajar, karakteristik siswa, agar dapat diperoleh efektivitas, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran. Cara-cara yang digunakan dalam pembelajaran disebut dengan berbagai macam istilah. Istilah yang paling sering disebut adalah “metode”. Namun istilah metode itu meliputi banyak pengertian dan dipakai untuk menunjukkan berbagai macam kegiatan yang maknanya berbeda-beda, hingga dapat menimbulkan kerancuan. Sebagai gantinya di pakai istilah strategi dan teknik pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah pendekatan menyeluruh pembelajaran dalam suatu sistem pembelajaran, yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran, yang dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori belajar tertentu. Sedangkan teknik pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang dipilih dan dilaksanakan oleh guru dengan jalan mengkombinasikan lima komponen sistem pembelajaran, yaitu yang terdiri atas orang, pesan, bahan, alat, dan lingkungan, agar tercapai tujuan belajar. Pemilihan Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran sebagai suatu pendekatan menyeluruh oleh Romiszowski (1981) dibedakan menjadi dua strategi dasar, yaitu ekpositori (penjelasan) dan diskoveri (penemuan). Kedua strategi itu dapat dipandang sebagai dua ujung yang berlawanan dalam suatu kontinum strategi. Diantara kedua ujung itu terdapat sejumlah strategi lain. Strategi ekspositori didasarkan pada teori pemrosesan informasi. Pada garis besarnya teori pemrosesan informasi (infoemation processing learning) menjelaskan proses belajar sebagai berikut : a. Pembelajar menerima informasi mengenai prinsip atau dalil yang dijelaskan dengan memberikan contoh b. Terjadi pemahaman pada diri pembelajar atas prinsip atau dalil yang diberikan c. Pembelajar menarik kesimpulan berdasarkan kepentingannya yang khusus d. Terbentuknya tindakan pada diri pembelajar, yang merupakan hasil pengolahan prinsip/dalil dalam situasi yang sebenarnya. Penerapan strategi ekspositori ini berlangsung sebagai berikut : a. Informasi disajikan kepada pembelajar b. Diberikan tes pengasaan, serta penyajian ulang bilamana dipendang perlu c. Diberikan kesempatan penerapan dalam bentu contoh soal, dengan jumla dan tingkat kesulitan yang bertambah d. Diberikan kesempatan penerapan uinformasi baru dalam situasi dan masalah yang sebenarnya Strategi diskoveri didasarkan pada teori pemrosesan pengalaman, atau disebut pula teori belajar berdasarkan pengalaman (experiential learning). Pada garis besarnya proses belajar menurut teori ini berlangsung sebagai berikut : a. Pembelajar bertindak dalam suatu peritiwa khusus b. Timbul pemahaman pada diri pembelajar atas peristiwa khusus itu c. Pembelajar menggeneralisasikan peristiwa khusus itu menjadi suatu prinsip yang umum d. Terbentuknya tindakan pembelajar yang sesuai dengan prinsip itu dalam situasi atau peristiwa baru. Penerapan strategi diskoveri ini berlangsung dengan langkah-langah berikut : a. Diberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berbuat dan mengamati b. Diberikan tes tentang adanya hubungan sebab-akibat serta diberikan kesempatan ulang untuk berbuat bilamana dipeandang perlu c. Diusahakan terbentuknya prinsip umum dengan latihan pendalaman dan pengamatan tindakan lebih banya d. Diberikan kesempatan untuk penerapan informasi yang baru dipelajari dalam situasi yang sebenarnya.12) Startegi eskpositori erat kaitannya dengan pendekatan deduktif, danstrategi diskoveri dengan pendekatan induktif. Namun, meskipun secara konseptual strategi instruktional itu dapat dibedakan, dalam praktik sering digabungkan. Para pendidik cenderung lebih banyak menggunakan strategi ekspositori karena ditinjau dari pertimbangan waktu lebih hemat, dan lebih mudah dikelola. Pemilihan strategi pembelajaran didasarkan pada pertimbang berikut : Tujuan belajar : jenis dan jenjangIsi ajaran : sifat, kedalaman, dan banyaknyaPembelajar : latar belakang, motivasi, serta kondisi fisik dan mentalTenaga kependidikan : jumlah, kualifikasi, dan kompetensiWaktu : lama dan jadwalnya, sarana : yang dimanfaatkan, dan biaya

Unsur-Unsur Strategi Pembelajaran Setiap rumusan satrategi pembelajaran mengandung sejumlah unsur atau komponen. Kombinasi diantara unsur-unsur itu boleh sikatakan tidak terbatas. Unsur-unsur yang lazim terdapat dalam rumusan strategi pembelajaran adalah : a. Tujuan umum pembelajaran (sekarang lebih dikenal dengan nama standar kompetensi) yang ingin dicapai; misalnya meningkatnya minat baca, meningkatnya motivasi untuk belajar fisika. b. Teknik : berbagai macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan umum. Pada umumnya merupakan penggabungan dari beberapa teknik sekaligus, misalnya ceramah, mendongeng, simulasi, dan permainan . c. Pengorganisasian kegiatan belajar mengajar meliputi pengorganisaian siswa, guru dan tenaga kependidikan lainnya. d. Peritiwa pembelajaran, yaitu penahapan dalam melakasanakan proses pembelajaran termasuk usaha yang perlu dilakukan dalam tiap tahap, agar proses berhasil. Secara garis besar meliputi langkah-langkah ; persiapan, penyajian, pemantapan. e. Urutan belajar, yaitu penahapan isi ajaran yang diberikan agar lebih mudah dipahami. f. Penilaian, yaitu dasar dan alat (instrumen) yang digunakan untuk mengukur usaha atau hasil belajar. Untuk mengukur hasil belajar, ada dua macam patokan yang dapat dipakai, yaitu acuan norma kelompok, dan acuan tujuan. g. Pengelolaan kegiatan belajar/kelas, yaitu meliputi bagaimana pola pembelajaran diselenggarakan. Salah satu pengelolaannnya dalam bentu pola belajar mandiri. h. Tempat atau latar adalah lingkungan dimana proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini meliputi keadaan dan kondisinya, pengaturan tempat duduk, bentuk kursi, macam perlengkapan yang tersedia serta kaya atau miskinnya rangsangan yang tersedia. i. Waktu : jumlah dan saat/jadwal berlangsungnya proses belajar mengajar. Konsep Dasar Sistem Belajar Mandiri Konsep dasar sistem belajar mandiri adalah pengaturan program belajar yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga tiap peserta didik/pelajar dapat memilih dan atau menentukan bahan dan kemajuan belajar sendiri. Sistem belajar mandiri sebagai suatu sistem dapat dipandang sebagai struktur, proses, maupun produk. Sebagai suatu struktur maksudnnya ialah adanya suatu susunan dangan hiererki tertentu. Sebagai proses adalah adanyanya tata cara atau prosedur yang runtut. Sedangkan sebagai produk adalah adanya hasil atau wujud yang bermanfaat. Komponen Sistem Belajar Mandiri Komponen-komponen sistem belajar mandiri meliputi falsafah dan teori, kebutuhan, organisasi peserta, program, produksi, penyebaran, pemanfaatan, organisasi, tenaga, prasarana, sarana, bantuan dan pengawasan, kegiatan belajar, dan penilaian/penelitian. Semua komponen ini saling berkaitan dan terintegrasi dalam suatu kesatuan. Secara operasional pengertian sistem belajar mandiri dengan segala komponennya ini lebih merupakan suatu pola konseptual dan tindakan. Kerangka Teori Sistem Belajar Mandiri Sistem belajar mandiri adalah teori instruksional yang bersifat preskiptif, artinya teori yang memberikan ”resep” untuk mengatasi masalah. Kerangka teori ini mengandung tiga variabel, yaitu : kondisi, perlakuan, dan hasil. Salah satu landasan yang digunakan pada sistem belajar mandiri adalah model J.B Carroll (Wager, 1977) mengenai faktor waktu dalam keberhasilan belajar, yang diadaptasi sebagai berikut : Keberhasilan belajar = Waktu yang diperlukan Waktu yang digunakan Variabel waktu yang digunakan dapat dirinci lebih lanjut menjadi waktu yang diberikan dan kegigihan. Sedangkan variabel waktu yang digunakan terdiri atas kemampuan, kualitas instruksional, dan kemauan. Keberhasilan belajar = Waktu yang diberikan dan kegigihan Kemampuan, kualitas instruksional, kemauan Model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : meningkatkan nilai pembilang (waktu yang diberikan dan kegigihan) akan meningkatkan waktu yang diperlukan, dan mengakibatkan meningkatnya keberhasilan belajar. Sedangkan meningkatnya nilai sebutan (kemampuan, kualitas instruksional, dan kemampuan) akan menurunkan waktu yang digunakan, dan karena itu akan meningkatkan keberhasilan belajar. Strategi Sistem Belajar Mandiri Strategi adalah pendekatan menyeluruh dalam pembelajaran, dan yang berupa pedoman umum dan kerangka yang dijabarkan dari pandangan falsafah dan teori tertentu. Strategi ini ditetapkan untuk mencapai tujuan umum. Penentuan strategi pada umumnya meliputi : a. Tujuan belajar, jenis dan jenjangnya b. Cara penyajiian bahan pelajaran c. Media yang digunakan d. Biaya yang diperlukan e. Waktu yang diberikan dan jadwalnya f. Prosedur kegiatan belajar g. Instrumen dan prosedur penilaian Penentuan strategi ini memberikan masukan kepada pengembangan materi, distribusi, dan kegiatan belajar. Bertolak dari dasar model Carroll maka variabel yang dapat dikontrol oleh penyelenggara sistem belajar mandiri adalah waktu yang diberikan dan kualitas instruksional. Waktu yang diberikan dapat ketat atau luwes. Kualitas instruksional dalam sistem belajar mandiri adalah kualitas bahan ajar itu yang kebanyakan berupa modul cetak atau paket bahan belajar. Kualitas intsruksional mengandung empat rujukan, yaitu kesesuaian, daya tarik, efektif dan efesien. Kesesuaian mengandung ciri, antara lain kesepadanan dengan karakteristik peserta, keserasian dengan aspirasi, dan keselarasan dengan tuntutan zaman. Daya tarik mengandung ciri kemudahan memperoleh dan mencerna, kemustarian (keteptsaatan) pesan, dan keterandalan yang tinggi. Efektifitas mengandung ciri pengembangannya uyang bersistem, kejelasan dan kelengkapantujuan, dan kepekaan terhadap kebutuhan peserta. Efesien mengandung ciri keteraturan dan kehematan dalam artian waktu, tenaga, dan dana. Materi Pelajaran Sistem Belajar Mandiri Meskipun secara teoritik dalam sistem belajar mandiri para peserta dapat memilih dan menentukan materi pelajaran yang diperlukannya, namun dalam praktik paling tidak akan ditentukan pedoman tentang materi yang memenuhi syarat untuk dipilih. Bahkan dalam kenyataannya, materi ini telah disiapkan oleh penyelenggara, dengan alasan untuk mengendalikan mutu dan meningkatkan efesiensi. Materi pelajaran yang sengaja dikembangkan ini, dapat disajikan melalui media apa saja. Namun, masih ada sejumlah ketentuan lain yang tidak dapat diabaikan. Materi itu perlu diolah sedemikian rupa dengan memperhatikan strategi, serta sifat mereka itu sendiri. Materi yang bersifat kognitif lebih ringan pengembangannya dari materi yang bersifat afektif psikomotor. Materi yang mengandung aspek psikomotor lebih sulit untuk dikembangkan, apalagi kalau harus berpegangan pada satu macam medium saja seperti yang ditentukan dalam strategi, medium cetak. Dalam pengembangan materi ini harus benar-benar diperhatikan kondisi dan karakteristik peserta. Masyarakat kita pada umumnya masih dikenal sebagai masyarakat yang masih berbudaya mendengar dan belum berbudaya membaca, apalagi membaca secara mandiri. Penggunaan ilustrasi, kalimat–kalimat pendek, kosakata yang terbatas, serta tata letak (layout) menari pada bahan cetak akan sangat menolong keadaan ini. Kegiatan Belajar Sistem Belajar Mandiri Puncak kegiatan sistem belajar mandiri adalah terjadinya kegiatan belajar oleh peserta. Peserta diharapkan mampu belajar di tempat yang ditentukan sendiri, pada waktu yang dipilhnya sendiri, dan dengan cara belajar sendiri tanpa bimbingan tatap muka dari orang lain. Namun hal ini tergantung pada kondisi dan karakteristik peserta, serta kualitas bahan pelajaran. Pada sistem belajar mandiri yang ideal, kegiatan belajar ini tidak dibatasi waktu, jadi lebih ditekankan pada pendekatan penguasaan (mastery concept). Penguasaan atas tujuan belajar dapat dibuktikan (dievaluasi) dengan berbagai macam cara, yaitu dengan seft-test (tes sendiri), tes baku yang dapat diambil kapan saja, tes baku pada saat tertentu saja, tes kolokium, dan pembuatan portopolio. Implikasi Sistem Belajar Mandiri dalam Manajemen Manajemen sistem belajar mandiri sediktnya mengandung tiga kategori, yaitu manajemen kegiatan, manajemen organisasi, dan managemen personel. Manajemen kegiatan pada hakikatnya merupakan usaha yang bertujuan untuk menentukan dan menyelenggarakan pembaruan demi tercapainya falsafah daan kebijakan kelembagaan. Manajemen personel ini perlu dirumuskan jenis tenaga yang diperlukan, jabatan atau posisinya dalam organisasi, tanggung jawabnya, kompetensinya yang harus dimilikinya, pelatihan yang diperlukan memiliki dan atau meningkatkan kompetensi, penugasan ke dalam suatu pekerjaan tertentu, pembinaan dalam pekerjaan (termasuk pengawasan, penyegaran, dan peningkatan karier dan kesejahteraan), serta pelayanan dalam pekerjaan (penyediaan sarana dan pemberian bantuan teknis). Personel dengan segala kegiatannya itu perlu diorganisasikan, dan ini merupakan bidang manajemen organisasi yang bertujuan untuk berfungsinya kegiatan dengan jalan membentuk unit kerjs, menentukan status organisasi, menyususn struktur organisasi, mengusahakan anggaran, mengusahakan sarana dan prasarana, serta menentukan prosedur administratif suatu unit kerja. Fenomena Sistem Belajar Mandiri Proses belajar mandiri, memberi kesempatan para peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru. Mereka mengikutikegiatan belajar belajar dengan materi ajar yang sudah dirancang khusus sehingga masalah atau kesulitan sudah diantisipasi sebelumnya. Model belajar mandiri ini sangat bermanfaat, karena dianggap luwes, tidak mengikat, serta melatih kemandirian siswa agar tidak tergantung atas kehadiran atau uraian materi ajar dari guru. Berdasarkan gagasan keluwesan dan kemandirian inilah belajar mandiri telah bermetamorfosis sedemikian rupa, diantaranya menjadi sistem belajar terbuka, belajar jarak jauh, dan e-learning. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain dan kenyataan dilapangan. Berikut ini bagan gambaran fenomena sistem belajar mandiri : [Photo]Belajar Mandiri : Pilihan Proses Belajar Mengajar di Kelas [Photo]Sekolah tanpa gedung: tidak ada jadwal, jumlah siswa lebih banyak (sekolah) Belajar Terbuka : [Photo] [Photo] Belajar tebuka (Open Learning) : Pendidikan untuk orang dewasa dilembaga Belajar Jarak Jauh (Distance Learning) menggunakan jasa Telekomunikasi [Photo]Inovasi Belajar Terbuka Konsep Dasar : Belajar di Organisasi [Photo][Photo][Photo][Photo] Belajar berasas sumber (resource-based learning) Flexible learning Belajar Jarak Jauh (Generasi Ke-3) e-learning : internet Gambar 2. Gambaran Fenomena Sistem Belajar Mandiri (Diadaptasi dari Dewi Salma Prawiradilaga, 2007 : 191) Dari proses belajar mandiri tersebut diperoleh peran guru atau instruktur diubah menjadi fasilisator, atau perancang proses belajar. Sebagai fasilisator, seorang guru atau instruktur membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, atau ia dapat menjadi mitra belajar untuk materi tertentu pada program tutorial. Tugas perancangan proses belajar mengharuskan guru untuk mengubah materi ke dalam format sesuai dengan pola belajar mandiri. Sistem Belajar Mandiri Salah Satu Aplikasi Teknologi Pendidikan Penerapan teknologi pendidikan sangatlah luas dalam satu rangkaian sistem yaitu yang bersifat mikro dan bersifat makro. Taknologi pendidikan merupakan suatu konsep yang masih relatif baru. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa teknologi pendidikan sebagai suatu konsep, mengandung sejumlah gagasan dan rujukan. Gagasan yang ingin diwujudkan adalah agar setiap pribadi dapat berkembang semaksimal mungkin dengan jalan memanfaatkan teknologi sedemikian rupa sehingga selaras dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan. Rujukan konsep itu merupakan hasil sintesi dari gejala yang diamati dan kecenderungan yang ada.

Analisis empirik terhadap sistem belajar mandiri yang dilakukan untuk menghasilkan manfaat penerapan teknologi instruksional : 1. Meningkatkan produktifitas pendidikan dengan jalan : a) Memperlaju penerapan bahan b) Membantu guru untuk menggunakan waktunya secara lebih baik c) Mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi, sehingga guru dapat lebih banyak membina dan mengembangkan kegiatan belajar anak didik 2. Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan : a) Mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional b) Memberikan kesempatan anak didik untuk berkembang sesuai perkembangan perorangan mereka 3. Memberikan dasar pembelajaran yang lebih ilmiah dengan jalan: a) Perencanaan program pembelajaran secara bersistem b) Pengembangan bahan ajaran yang dilandasi penelitian 4. Meningkatkan kemampuan pembelajaran dengan memperluas jangkauan penyajian , dan kecuali itu penyajian pesan dapat lebih kongkret. 5. Memungkinkan belajar lebih akrab, karena dapat : a) Mengurangi jurang pemisah antara pelajaran didalam dan diluar sekolah b) Memberikan pengalaman tangan pertama 6. Memungkinkan pemerataan pendidikan yang bermutu, terutama dengan : a) Dimanfaatkan bersama tenaga atau kejadian langka b) Didatangkannya pendidikan kepada mereka ytang memerlukan Analisis ini dilakukan dengan harapan bahwa keberadaan teknologi pendidikan dapat dimanfaatkan dan benar-benar mampu menjadi solusi terhadap pemecahan semua permasalahan bejara, baik yang bersifat mikro ataupun makro. C.

PENUTUP
Sistem belajar mandiri merupaka satu tawaran konsep dalam pengembangan strategi pembelajaran, sebagai solusi pemecahan permasalahan pendidikan yang menjadi garapan bidang teknologi pendidikan. Dimana telah disebutkan dimuka bahwa teknologi pendidikan membantu memecahkan maslah belajar. Masalah belajar yang bersifat mikro maupun makro. Menurut penulis strategi pembelajaran merupakan permasalahan yang bersifat mikro. Beberapa masala belajar-mengajar yang bersifat mikro, misalnya adalah : 1. Sulit mempelajari konsep yang abstrak 2. sulit membayangkan peristiwa yang telah lau 3. Sulit mengamati sesuatu objek yang terlelu kecil/besar 4. Sulit memperoleh pengalaman langsung 5. Sulit memahami pelajaran yang diceramahkan 6. Sulit untuk memahami konsep yang rumit 7. Terbatasnya waktu untuk belajar Masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan berbagai kombinasi komponen sistem pembelajaran. Misalnya, masalh pada butir 1 s/d 4 dapat diatasi dengan digunakannya media pembelajaran. Masalah tersebut pada butir 5 s/d 7 dapat diatasi dengan mengkombinasikan pesan dengan teknik pembelajaran tertentu. Namun, perlu ditegaskan bahwa untuk pemecahan masalah ini tidak mungkin dilakukan hanya dengan dasar institusi ataupun peniruan begitu saja. Guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus untuk keperluan itu, yaitu dibidang teknologi pendidikan. Proses belajar mandiri, diharapkan dapat memberi kesempatan para peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru. Mereka mengikutikegiatan belajar belajar dengan materi ajar yang sudah dirancang khusus sehingga masalah atau kesulitan sudah diantisipasi sebelumnya. Model belajar mandiri ini sangat bermanfaat, karena dianggap luwes, tidak mengikat, serta melatih kemandirian siswa agar tidak tergantung atas kehadiran atau uraian materi ajar dari guru.

DAFTAR PUSTAKA 
Miarso, Yusuf Hadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan, Jakarta : Kencana, Cetakan ke-3, 2007.
Prawiradilaga, Dewi Salma, Mozaik Teknologi Pendidikan, Jakarta : Kencana, Cetakan ke-2, 2007.

 

Strategi Pembelajaran

STRATEGI PEMBELAJARAN

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2) strategi pembelajaran, (3) metode pembelajaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut, dengan harapan dapat memberikan kejelasaan tentang penggunaan istilah tersebut.
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diatikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.
Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
Sumber: Beranda Blogs akhmadsudrajat’s blog, (http://smacepiring.wordpress.com/)
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya Remaja.
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Udin S. Winataputra. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran (http://smacepiring.wordpress.com/)

 

Standar Guru Dan Pendidik dalam Kurikulum

Standar Guru Dan Pendidik dalam Kurikulum

Oleh : Akhmad Fakharuddin Sidar

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya revolusi dalam berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan. Eric Ashby (1972) menyatakan bahwa dunia pendidikan telah memasuki revolusinya yang kelima. Revolusi pertama terjadi ketika orang menyerahkan pendidikan anaknya kepada seorang guru. Revolusi kedua terjadi ketika digunakannya tulisan untuk keperluan pembelajaran. Revolusi ketiga terjadi seiring dengan ditemukannya mesin cetak sehingga materi pembelajaran dapat disajikan melalui media cetak. Revolusi keempat terjadi ketika digunakannya perangkat elektronik seperti radio dan televisi untuk pemerataan dan perluasan pendidikan. Revolusi kelima, seperti saat ini, dengan dimanfaatkannya teknologi informasi dan komunikasi tercanggih, khususnya komputer dan internet untuk pendidikan.

Masuknya mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi pada kurikulum berbasis kompetensi sejak tahun 2004 yang dikenal juga dengan KBK 2004 dalam usia yang masih belum mendapat pemahaman detail, kini ini telah diganti dengan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dimana Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Tulisan ini tidak bermaksud untuk balik ke belakang. Namun demikian, tentunya pemerintah tidak serta merta dan terburu-buru memasukkan teknologi informasi dan komunikasi dalam kurikulum sekolah di tahun 2004 untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan dan kemajuan jaman, seperti apa yang digambarkan oleh Eric Ashby.

Namun untuk mewujudkan tatanan masyarakat informasi dengan segala perkembangan yang terjadi baik sebagai akibat perjanjian ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang telah berjalan selama 4 tahun merupakan bagian dari era globalisasi yang telah memberikan pengaruh kepada persaingan yang makin ketat dan tajam. Sehingga untuk menghadapi tangangan itu diperlukan peningkatan daya saing dan keunggulan dalam berbagai sektor usaha, baik industri dan juga jasa. Oleh karena itu upaya peningkatan kemampuan dan kompetensi sumber daya manusia menjadi suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi.

Mencermati usaha yang telah dilakukan pemerintah khususnya pada bidang Telematika ( Teknologi telekomunikasi, Media dan Informatika ) tampaknya sudah dibuat grant design sebagai sebuah peta dengan pardigma baru yang disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan yang akan datang. Salah satu yang mendapat perhatian sangat serius adalah peningkatan kemampuan dan komptensi SDM TI yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja, memerlukan hubungan yang timbal balik antaran penyedia SDM (lembaga Pendidikan dan Pelatihan) dengan dunia Industri yang membutuhkan.Suatu keterbukaan untuk bekerjasama dan bersinergi pisitif antar elemen untuk merumuskan sebuah standar kompetensi kualifikasi SDM bidang TIK yang dilakukan oleh pnyedia idustri,dengan lembaga pendidikan sebagai penyedia SDM agar mengembangkan dan menyelenggarakan program pendidikan untuk memenuhi standar kebutuhan tersebut. Memang tersedianya SDM yang berkompeten tidak akan ada artinya jika tidak tidak diimbangi dengan pembangunan dan penyedian insfrastruktur dan industri TIK.

Dunia pendidikan seperti disebutkan diatas sebagai penyedia SDM sangat bertanggung jawab untuk melahirkan tenaga SDM TIK yang kompeten. Isu penting TIK di lembaga pendidikan adalah masalah Kurikulum TIK dan Ketersediaan tenaga Guru TIK untuk pengajarannya di sekolah-sekolah. Untuk masalah yang pertama pada kurikulum TIK dengan mencermati beberapa dokumen yang ada pada sektor TIK memang pemetaan baik segementasi dan ruang lingkup TIK sudah mulai digarap dengan melibatkan seluruh komponen yang ada. Pada level sekolah dasar dan menengah pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Pendidikan Menegah Kejuruan melakukan penyusunan Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) sektor TIK yang akan menjadi dasar pengembangan tenaga SDM bidang TIK di Indonesia. Pada sekolah umum baik SD dan SMP penyusunan Standar juga sudah dilakukan dengan berpijak pada Standar Nasional Pendidikan dimana pengembangan dan pendalaman kuriklum dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Segementasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk bidang telematikapun sudah jelas dengan dipetakan segmen telematika menjadi 4 sub sektor bidang telematika, yaitu :

 

1) SKKNI Sub Sektor Operator;

2) SKKNI Sub Sektor Programer;

3) SKKNI Sub Sektor Computer technical Support;

4) SKKNI sub Sektor Jaringan Komputer dan Sistem Adminsitrasi

5) SKKNI sub sektor Multimedia.

Dimana setiap sub sektor ini memiliki sertifikasi kompetensi yang dipetakan berdasarkan Cluster. Cluster itu sendiri merupakan hasil dari penggabungan unit-unit komptensi yang ada dalam setiap sub sektor bidang telematika dan didasarkan pada standar RMCS ( Regional Model Competency Standard). Dibandingkan dengan standar yang lama, model RMCS ini memberikan fleksibilitas tinggi dimana unit-unit kompetensi tersebut dapat dipaketkan menjadi suatu kluster untuk suatu jenjang pekerjaan yang sepesifik. Dengan demikian, perubahan pekerjaan dalam dunia kerja dapat segera direspon.

Atas dasar SKKNI inilah sekolah mengembangkan kurikulum TIK pada setiap Tingkat satuan Pendidikan yang kita kenal dengan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan TIK. Cakupan ruang lingkup TIK untuk sekolah Umum SMP/SMA tenunya sangat berbeda dengan Sekolah kejuruan. SKKNI yang sekarang telah dirubah namanya menjadi Standar Komptensi Nasional (SKN) juga menjadi acuan penyusunan kurikulum dan pengembangan silabus pada sekolah kejuruan disamping Standar isi (SI), Permendiknas No.22/2006 tentang standar isi, Permendiknas 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Juknis dan Juklak KTSP dari BSNP dan bimbingan teknis LTSP Direktorat pembinaan SMK yang telah ditetapkan secara nasional. Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI), program keahlian Programer, Rekayasa Perangkat Lunak dan Multimedia merupakan Program keahlian yang dikembangkan pada sekolah kejuruan sekarang ini.

Kurikulum, setidaknya sudah dipetakan dengan jelas, dengan pemetaan ini diharapkan kesimpang siuran batasan materi yang diajarkan baik pada sekolah umum setingkat SMP/SMA/SMK tidak sampai menimbulkan kesalahpaham yang kronis. Namun bukan berarti sudah final, saat ini saja masih ada perdebatan terutama pembatasan yang materi yang boleh disampaikan pada jenjang sekolah menengah kejuruan dengan yang diajarkan pada peguruan tinggi.

Terlepas apakah kurikulum tingkat satuan pendidikan lebih baik dalam desain atau sangat menjanjikan untuk memecahkan masalah mutu pendidikan di negeri ini, akan menjadi sangat menarik untuk terus dikaji. Walaupun konteksnya sekarang KTSP, keberadaan Mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini tidak bisa diartikan sebagai suatu hal yang baru. Bukan juga jiwa kurikulum itu dapat dengan mudah kita tanggalkan dalam kontek kajian Mata pelajaran teknologi Informasi di sekolah-sekolah. Oleh karena itu dalam tulisan ini Mata Pelajaran Teknologi informasi di era KTSP merupakan rangkaian substansi dari KBK 2004 yang dalam mata rantai menjadi dasar untuk pengembangannya.

Kurikulum 2004 yang sudah tidak dipakai lagi namun rohnya tetap terbawa dalam KTSP terutama karena fokus pada pencapaian Kompetensi (keterpaduan aspek kognisi, afeksi dan psikomotor) dalam upaya proses pembelajaran menunut juga kesiapan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang tentunya disesuaikan dengan tuntutan karaktrisitk kurukulum yang berlaku saat ini. Dengan kata lain perubahan suatu kurikulum menuntut perubahan “prilaku mengajar guru” yang sesuai dengan tuntutan dan karakteristik dari kurikulum itu sehingga penerapan kuriklulum baru memiliki signifikasi bagi kemajuan pendidikan.

Banyaknya penilaian yang dilakukan oleh para pakar pendidikan (meskipun belum dilakukan penelitian secara cermat) bahwa, penerapan suatu kuriklum baru di Indonesia tidak banyak merubah “perilaku mengajar” para guru dilapangan. Beberapa kali perubahan kurikulum terjadi, nampaknya tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam kesiapan mengajar, strategi pembelajaran dan evaluasi yang digunakan oleh guru. Terlepas dari sarana, prasarana, media, pusat dan sumber belajar sebagai komponen utama dalam proses belajar, sangat menarik untuk dicermati akan kondisi dilapangan terutama tentang pelaksanaan pengajaran mata pelajaran Teknologi informasi dan Komunikasi itu sendiri.

 

Pada masalah kedua seperti disebutkan diawal diluar konteks insfrastruktur adalah penyediaan tenaga SDM untuk memberikan pengajaran TIK di sekolah-sekolah tersebut. Siapa yang berhak mengajar TIK? Siapa saja yang boleh menyandang sebutan Guru Mata pelajaran TIK? Kalau menyebut guru TIK, guru TIK yang mana? Apakah Guru TIK KKPI?, Guru TIK Programer? Guru TIK Rekayasa Perangkat Lunak? guru TIK Multimedia? Seperti yang menjadi pembahasan alot oleh Musyawarah Kerja Guru Mata pelajaran TIK DKI Jakarta.

Ingat akan pertanyaan yang dilontarakan oleh seorang guru dari Bangli di bulan November tahun 2007 yang menanyakan kejelasan siapa yang sebenarnya cocok untuk mengajar TIK di sekolah-sekolah. Barangkali tidak berlebihan ketika pertanyaan yang sama terlontar dari salah seorang guru SMA dari Singaraja baru-baru ini ketika ada perhelatan di Kampus Undiksha. Kalau pertanyaannya siapa yang mengajar Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah tentunya tulisan ini tidak jadi kami lanjutkan. Sudah jelas! Siapa yang berhak.

Apabila menyadari fakta dilapangan menyangkut pengajaran TIK disekolah untuk saat ini, demi pelaksanaan KTSP TIK di sekolah, seorang guru bahasa Indonesia yang semasa pendidikannya dimampus banyak bergelut dengan Komputer telah dipercaya mengampu mata pelajaran TIK. Atau seorang guru Biologi yang sudah familiar menggunakan komputer diberikan kepercayaan untuk mengajar TIK di sekolah dimana mereka bertugas, apakah salah? Yang jelas ini fakta dilapangan jadi sah-sah saja. Hal ini dapat dimaklumi ketika persoalan aturan yang mana dipakai belum jelas, sarana dan prasarana untuk pembelajaran TIK disekolah juga masih terbatas. Suatu model yang banyak digunakan sekolah dalam usaha pembelajaran TIK dengan menyelenggarakan kerjasama dengan pihak lain dalam pengadaan komputer adalah dengan pola kerjasama.

Tetapi ada juga yang sekolah mampu untuk membangun lab komputer sendiri dengan atau tanpa dukungan komite sekolah, lalu bagaimana dengan sekolah yang belum mampu menyediakan fasilitas yang layak pakai? Bagi sekolah yang mampu dengan dukungan pihak lain seperti alumni, dengan manajemen berbasis sekolah sangat mungkin dan memberikan peluang baru dalam memenuhi tuntuntan KTSP dan gensi sekolah menarik tenaga yang berlabel sarjana komputer untuk mengajar TIK. Sekali lagi sah-sah saja! Hal ini setidaknya karena; 1) sekolah mampu untuk membiayai; 2) Mengangkat guru baru tidaklah gampang; 3) Tidak ada rotan akarpun jadi, artinya seorang guru biologi bisa saja mengajar TIK asal mereka mampu, kata mampu tentunya sifatnya kualitatif sepanjang belum ada dasar; 4) Belum ada aturan secara tegas tentang siapa yang berhak mengajar TIK. Sarjana Komputerkah? Sarjana Kependidikan yang memiliki konsentrasi TIK atau Pihak-pihak yang telah bekerjasama dengan sekolah dimintakan bantuan untuk sekaligus menyediakan tenaga untuk mengajar TIK? Atau seseorang yang memiliki pengakuan dengan bukti sertifikat kompetensi TIK?

Kembali pada pertanyaan dua guru SMA diatas, tulisan inipun tidak mampu memberikan jawaban yang pasti. Alasan yang pertama karena penulis bukan pemegang wewenang memiliki kapasitas untuk itu, kedua penulis bukan regulator. Lalu apa gunanya dipaksa juga untuk ditulis ?Yang pasti penulis adalah rakyat biasa yang dalam konteks ini bisa urun pendapat, apalagi saran karena memang rakyat biasa biasanya tidak ahli.

Guru adalah pekerjaan yang mulia, pahlawan tanpa tanda jasa, patut di gugu dan ditiru. Apakah perubahan pengelolaan sistem pendidikan untuk saat ini ungkapan diatas masih relevan? Dalam banyak berita di media masa guru adalah sebuah profesi. Sebuah sebutan yang sangat bergensi mungkin bisa disamakan dengan gengsinya seorang dokter, pengacara dan arsitek. Sebuah profesi belum tentu profesional, namun seorang yang profesional sudah pasti mereka memiliki profesi. Begitu juga dengan profesi sebagai seorang guru (pendidik). Mereka mempunyai dasar hukum yang jelas, kode etik yang pasti, berada dibawah naungan organisasi profesi. Lalu bagaimana dengan guru TIK? Apakah cukup menyandang guru dengan sertifikat pendidik atau guru TIK ada sertifikasi khusus?

UU NO. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan tenaga pendidik adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan sebutan Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Tentunya juga baik tenaga pendidik dan kependidikan pada pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan yang ada di negeri ini.

Begitupun dalam bab XI, Pasal 39 ayat 2 disebutkan Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Masih dalam UU yang sama dalam pasal 42 ayat 1 disebutkan Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Begitupual dalam pasal 43 ayat 2 tersurat Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Lebih lanjut pada ayat (3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam pasal 61 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan dengan jelas tentang :

(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 disebutkan bahwa Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.Bagian Kesatu klausal Pendidik pasal 28 dalam PP ini disebutkan antara lain :

(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harusdipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:

a. Kompetensi pedagogik;

b. Kompetensi kepribadian;

c. Kompetensi profesional;

d. Kompetensi sosial.

(4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan.

(5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pada pasal 29 lebih terinci lagi tentang apa yang harus dimiliki oleh pendidik seperti contoh untuk SMP dan SMA pada ayat (3) tersurat Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:

a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)

b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan c. sertifikat profesi guru untuk SMP/MTs. Sedang pada ayat 4 disebutkan Pendidik pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:

 

a. kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1)

 b. latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan;

c. sertifikat profesi guru untuk SMA/MA.

Pasal 30 ayat (4) Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Karena Guru dalam pengertian umum dihasilkan oleh suatu LPTK maka terhadap kompetensi calon guru dalam pasal 89 ayat 5 Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikasi mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui Pemerintah sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji kompetensi.

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 2007

TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI GURU secara lebih rinci disebutkan sebagai berikut :

A. KUALIFIKASI AKADEMIK GURU

Kualifikasi akademik terdiri atas :

1. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Pendidikan Formal Kualifikasi akademik guru pada satuan pendidikan jalur formal.

Mencakup kualifikasi akademik guru pendidikan Anak Usia Dini/ Taman Kanak-kanak/Raudatul Atfal (PAUD/TK/RA), guru sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), guru sekolah menengah pertama/madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), guru sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), guru sekolah dasar luar biasa/sekolah menengah luar biasa/sekolah menengah atas luar biasa (SDLB/SMPLB/SMALB), dan guru sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK*), sebagai berikut;

a. Kualifikasi Akademik Guru PAUD/TK/RA Guru pada PAUD/TK/RA harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan anak usia dini atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

b. Kualifikasi Akademik Guru SD/MI Guru pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

c. Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs. Guru pada SMP/MTs, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

d. Kualifikasi Akademik Guru SMA/MA Guru pada SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

e. Kualifikasi Akademik Guru SDLB/SMPLB/SMALB Guru pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

f. Kualifikasi Akademik Guru SMK/MAK* Guru pada SMK/MAK* atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) program studi yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan/diampu, dan diperoleh dari program studi yang terakreditasi.

 

2. Kualifikasi Akademik Guru Melalui Uji Kelayakan dan Kesetaraan Kualifikasi akademik.

Yang dipersyaratkan untuk dapat diangkat sebagai guru dalam bidang-bidang khusus yang sangat diperlukan tetapi belum dikembangkan di perguruan tinggi dapat diperoleh melalui uji kelayakan dan kesetaraan. Uji kelayakan dan kesetaraan bagi seseorang yang memiliki keahlian tanpa ijazah dilakukan oleh perguruan tinggi yang diberi wewenang untuk melaksanakannya.

B. STANDAR KOMPETENSI GURU.

 Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Secara khusus standar kompetensi seorang guru jika mengampu mata pelajaran TIK harus mempunyai kompetensi inti guru mata pelajaran TIK pada setiap tingkatan baik SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK adalah :

1) Mengoperasikan komputer personal dan periferalnya;

2)Merakit, menginstalasi, mensetup, memelihara dan melacak serta memecahkan masalah (troubleshooting) pada komputer personal;

3)Melakukan pemrograman komputer dengan salah satu bahasa pemrograman berorientasi objek;

4)Mengolah kata ( word processing ) dengan komputer personal;

5) Mengolah lembar kerja (spreadsheet) dan grafik dengan komputer personal;

6) Mengelola pangkalan data (data base) dengan komputer personal atau komputer server;

7) Membuat presentasi interaktif yang memenuhi kaidah komunikasi visual dan interpersonal;

8) membuat media grafis dengan menggunakan perangkat lunak publikasi;

 

 

Rancangan dan Tahapan Pembelajaran dalam Proses Kognitif

Rancangan dan Tahapan Pembelajaran dalam Proses Kognitif

Oleh: Akhmad Fakharuddin*

1. Attention (Perhatian).

    Yaitu dimana pembelajaran dijadikan sebagai pusat perhatian yang dapat menarik minat dan ketertarikan siswa untuk belajar. Perancang pembelajaran dituntut untuk selalu terbuka, cerdas dan inovatif  secara tepat dan berguna dalam membentuk konsep untuk pengembangan kegiatan belajar.

Misalnya: Membawa miniatur tiruan (mobil-mobilan, motor, pesawat, dsb) untuk pelajaran pengenalan alat transportasi di Sekolah Dasar.

2. Retention (Pengulangan).

Dalam tahapan ini Perancang Pembelajaran dapat memberikan keterampilan langsung maupun bertahap mulai dari dasar sampai ketingkat lanjut kepada peserta didik.

Misalnya: Dalam Proses Pembelajaran membuat patung. Dimulai dari teori memahatnya, sampai pada proses pengerjaan harus dilakukan berulang-ulang dan bertahap.

3. Reproduksi Motorik.

Ini merupakan tahap dimana perancang pembelajaran dapat melihat tingkat keberhasilan konsep yang diberikan ke peserta didik. Tugas mereka ialah memberitahu cara yang tepat apabila terjadi kesalahpahaman peserta didik dalam memahami dan mengoreksinya(evaluasi).

4. Motivasi.

Terakhir pendidik seharusnya memberikan reward, reinforcement, present, juga punishment dalam metode dan model pembelajarannya sebagai motivasi bagi peserta didik dalam proses belajar.  

 

                                                                                                       *Mahasiswa TEP FIP UM 2008

PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK DAN REMAJA

PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK DAN REMAJA

MAKALAH

 

 

       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Karakteristik Pembelajaran

yang dibina oleh Bpk. Dedi Kuswandi

Oleh

Akhmad Fakharuddin

108 121409945

TEP /A/ 2008

 

 

 

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

TEKNOLOGI PENDIDIKAN

APRIL 2009

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perubahan kualitas yang seimbang baik fisik maupun mental merupakan indikasi dari perkembangan anak didik yang baik. Tidak ada satu aspek perkembangan dalam diri anak didik yang dinilai lebih penting dari yang lainnya. Oleh itu tidaklah salah bila teori kecerdasan majemuk dapat memenuhi kecenderungan perkembangan anak didik yang bervariasi. Fakta biologis menunjukkan bahwa manusia ketika baru dilahirkan dalam  keadaan tidak berdaya tetapi mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang karena: kemampuan anak bersifat fleksibel, anak  manusia  mempunyai  otak yang  besar dan berpermukaan luas, dan mempunyai pusat syaraf yang berfungsi untuk menerima pengaruh dari luar dirinya sehingga dapat terjadi proses belajar. Anak manusia ketika dilahirkan membawa bermacam-macam kemampuan potensial, yang membutuhkan stimuli dari lingkungan.

Undang-undang No.20 tentang sistem pendidikan nasional 2003, berbunyi " warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus".

Dalam pendidikan, peserta didik merupakan titik fokus yang strategis karena kepadanyalah bahan ajar melalu sebuah proses pengajaran diberikan. Dan sudah dimaklumi bahwa peserta didik memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing, mereka unik dengan seluruh potensi dan kapasitas yang ada pada diri mereka dan keunikan ini tidak dapat diseragamkan dengan satu aturan yang sama antara pesrta didik yang satu dengan peserta didik yang lain. Para pendidik dan lembaga pendidikan harus menghargai perbedaan yang ada pada mereka. Keunikan yang terjadi pada peserta didik memang menimbulkan satu permasalahan tersendiri yang harus diketahui dan dipecahkan sehingga pengelolaan murid (peserta didik) dalam satu kerangka kerja yang terpadu mutlak diperhatikan, terutama pertimbangan pada pengembangan kreativitas, hal ini harus menjadi titik perhatian karena sistem pendidikan memang masih diakui lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberikan perhatian kepada pengembangan kreatif peserta didik.

Kebutuhan akan kreativitas dalam penyelenggaraan pendidikan dewasa ini dirasakan merupakan kebutuhan setiap peserta didik. Dalam masa pembangunan dan era yang semakin mengglobal dan penuh persaingan ini setiap individu dituntut untuk mempersiapkan mentalnya agar mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Oleh karena itu, pengembangan potensi kreatif yang pada dasarnya ada pada setiap manusia terlebih pada mereka yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dimulai sejak usia dini, Baik itu untuk perwujudan diri secara pribadi maupun untuk kelangsungan kemajuan bangsa.Dalam pengembangan bakat dan kreativitas haruslah bertolak dari karakteristik keberbakatan dan juga kreativitas yang perlu dioptimalkan pada peserta didik yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Motivasi internal ditumbuhkan dengan memperhatikan bakat dan kreativitas individu serta menciptakan iklim yang menjamin kebebasan psikologis untuk ungkapan kreatif peserta didik di lingkungan rumah, sekolah, dan masyarakat.

1.2  Rumusan Masalah

1.2.1. Apakah kreativitas itu?

1.2.2. Apa sajakah yang dilakukan untuk mengembangkan bakat dan kreativitas anak/remaja?

1.2.3. Siapa sajakah yang berperan dalam pengawasan pengembangan kreativitas tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1. Untuk menjelaskan pengertian kreativitas.

1.3.2. Untuk menjelaskan tentang pengembangan bakat dan kreatifitas anak/remaja.

1.3.3. Untuk menjelaskan peranan dan hubungan remaja dengan sekitarnya.

 

II. BAHASAN

2.1. Pengertian Kreativitas
Menurut Clark Moustakis (1967), ahli psikologi humanistik menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri endiri, dengan alam, dan dengan orang lain.
Menurut Rhodes, umumnya kreativitas didefinisikan sebagai Person, Process, Press, Product. Keempat P ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press) dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif.
Menurut Hulbeck (1945), “ Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Dimana tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya.
Menurut Sternberg (1988), kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara tiga atribut psikologis, yaitu intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi.
Menurut Baron (1969) yang menyatakan kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru.
Menurut Haefele (1962), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi-kombinasi baru yang mempunyai makna social.
Menurut Torrance (1988), kreativitas adalah proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan (masalah) ini, menilai dan menguji dugaan atau hipotesis, kemudian mengubah dan mengujinya lagi, dan akhirnya menyampaikan hasil-hasilnya.

Kreativitas membutuhkan adanya dorongan dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik).
1. Motivasi untuk Kreativitas
Dorongan ada pada setiap individu dan bersifat universal ada dalam diri individu itu sendiri namun membutuhkan kondisi yang tepat untuk diekspresikan.

2. Kondisi Eksternal yang Mendorong Perilaku Kreatif
Menurut Rogers, penciptaan kondisi keamanan psikologis dan kebebasan psikologis memungkinkan timbulnya kreativitas yang konstruktif.

2.2. Mengembangkan bakat dan kreativitas anak dan remaja

Mengenai Persimpangan Kreativitas, Amabile menekankan bahwa keberhasilan dalam perwujudan kreativitas ditentukan oleh tiga factor yang saling terkait, dan titik pertemuan antara ketig factor inilah yang menentukan keunggulan kreatif, yaitu keterampilan dalam bidang tertentu, keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsic.
Penelitian Dacey (1989) membandingkan karakteristik keluarga yang anak remajanya sangat kreatif, dengan keluarga yang anak remajanya biasa saja. Hasil penelitian ini menunjukkan peran besar dari lingkungan keluarga; dalam keluarga dengan remaja kreatif, tidak banyak aturan diberlakukan dalam kelaurga dibandingkan keluarga yang biasa. Banyak diantara remaja yang kreatif pernah mengalami masa krisis atau trauma dalam hidup mereka. Orang tua mengukur tanda-tanda kekereatifan anak sudah pada usia dini, dan mereka mendorong dan memberi banyak kesempatan untuk mengmbangkan bakat anak. Banyak dari orang tua keluarga kreatif mempunyai hobi yang dikembangkan di samping karier mereka. Orang tua dan anak dari keluarga kreatif sama-sama berpendapat bahwa peranan sekolah tidak penting dalam pengembangan kreativitas anak. Tetapi remaja kreatif cendrung untuk bekerja lebih keras daripada teman sekolah mereka. Agaknya dominasi dari belahan otak kanan (yang diasumsikan dengan fungsi kreatif) lebih kuat pada kelompok remaja yang kreatif.

Pada dasarnya penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Untuk lebih jelasnya kedua aspek tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

1. Penyesuaian Pribadi

Penyesuaian pribadi adalah kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggungjawab, dongkol. kecewa, atau tidak percaya pada kondisi dirinya. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya kegoncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya.

2. Penyesuaian Sosial

Setiap individu hidup di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut terdapat proses saling mempengaruhi satu sama lain silih berganti. Dari proses tersebut timbul suatu pola kebudayaan dan tingkah laku sesuai dengan sejumlah aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang mereka patuhi, demi untuk mencapai penyelesaian bagi persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Dalam bidang ilmu psikologi sosial, proses ini dikenal dengan proses penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu hidup dan berinteraksi dengan orang lain. Hubungan-hubungan tersebut mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat luas secara umum. Dalam hal ini individu dan masyarakat sebenarnya sama-sama memberikan dampak bagi komunitas. Individu menyerap berbagai informasi, budaya dan adat istiadat yang ada, sementara komunitas (masyarakat) diperkaya oleh eksistensi atau karya yang diberikan oleh sang individu.

Kedua hal tersebut merupakan proses pertumbuhan kemampuan individu dalam rangka penyesuaian sosial untuk menahan dan mengendalikan diri. Pertumbuhan kemampuan ketika mengalami proses penyesuaian sosial, berfungsi seperti pengawas yang mengatur kehidupan sosial dan kejiwaan.

Dalam mengembangkan kreativitas ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Antara lain;

1. Menghargai Eksistensi Remaja.

2. Eksistensi Siswa Dalam Kehidupannya.

 

2.3. Peranan dan hubungan remaja dengan sekitarnya.

A.     Keluarga

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih selama masih remaja karena pada saat itulah anak laki-laki dan perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk memperoleh rasa aman. Baik atau buruknya Hubungan remaja dengan keluarga dapat mempengaruhi dirinya dalam pergaulan sehari-hari di luar rumah.

 Orang tua merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri anak. Pola hubungan antara orang tua dengan remaja akan mempunyai pengaruh terhadap penyesuaian diri anak-anak. Beberapa pola hubungan yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri antara lain:

a.       Menerima (acceptance), yaitu situasi hubungan di mana orang tua menerima anaknya dengan baik. Sikap penerimaan ini dapat menimbulkan suasana hangat dan rasa aman bagi anak.

b.      Menghukum dan disiplin yang berlebihan, merupakan pola hubungan orang tua dengan anak bersifat keras. Disiplin yang ditanamkan orang tua terlalu kaku dan berlebihan sehingga dapat menimbulkan suasana psikologis yang kurang menguntungkan.

c.       Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan, dapat menimbulkan perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung dan sebagainya.

d.      Penolakan, yaitu pola hubungan di mana orang tua menolak kehadiran anaknya. Hal ini dapat menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri.

Di samping orang tua, anggota-anggota keluarga lainnya (saudara-saudaranya) juga memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri si anak. Bila suasana hubungan saudara yang penuh persahabatan, kooperatif, saling menghormati, penuh kasih sayang, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya penyesuaian yang lebih baik. Apabila sebaliknya akan menimbulkan suasana yang buruk (misalnya kebencian, iri hati, perselisihan, dan sebagainya). Umumnya peran remaja dalam keluarga tidak begitu diperhatikan oleh orang tua dan sauadara yang lebih tua darinya. Baik atau tidaknya peran remaja dalam keluarga itu dipengaruhi oleh pola hubungan keluarga terhadap dirinya. Agar karakteristik sosial remaja itu baik di lingkungan keluarga maka ia harus memperhatikan dan melakukan hal-hal yang baik dan benar, antara lain:

a.       Menjalin hubungan yang biak dengan para anggota keluarga (orang tua dan saudara);

b.      Menerima otoritas orang tua (mau menaati peratuaran yang ditetapkan orang tua);

c.       Menerima tanggung jawab dan batasan-batasan (norma) keluarga;

d.      Berusaha membantu anggota keluarga sebagai individu maupun kelompok dalam mencapai tujuannya.

B.     Sekolah

Sekolah mempunyai peranan sebagai media untuk mempengaruhi kehidu[pan intelektual, sosial, dan moral para siswa. Suasana di sekolah baik sosial maupun psikologis menentukan proses dan pola penyesuaian diri. Di samping itu hasil pendidikan yang diterima anak di sekolah akan merupakan  bekal bagi proses penyesuaian di masyarakat.

Di lingkungan sekolah, anak (remaja) harus bersikap respek dan mau menerima peraturan sekolah; berpartisapasi dalam kegiatan-kegiatan sekolah; menjalin persahabatan dengan teman-teman di sekolah; bersikap hormat terhadap guru, pemimpin sekolah dan staf lainnya; dan membantu sekolah dalam merealisasikan tujuan-tujuannya.

 C.     Teman sebaya

Teman-teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya; dan kedua, ia berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.

D.    Masyarakat

Keadaan lingkungan masyarakat di mana individu merupakan kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri. Dalam lingkungan masyarakat remaja diperhadapkan untuk mengakui dan respek terhadap hak-hak orang lain, memelihara jalinan persahabatan dengan orang lain, bersikap simpati dan altruis terhadap kesejahteraan orang lain, dan bersikap respek terhadap nilai-nilai, hukum, tradisi, dan kebijakan-kebijakan masyarakat.

 

III. PENUTUP

3.1. Simpulan

Masa remaja merupakan masa yang paling banyak mempengaruhi diri atau karakteristik sosial. Pada masa remajalah berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai inidividu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini mendorong remaja untuk berperan dan berhubungan dengan lebih akrab terhadap sekitarnya, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah,  teman sebaya, maupun masyarakat. Namun demikian, terdapat pula fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak di antara generasi muda belum memiliki kemandirian. Hal ini mencerminkan kreativitas generasi muda kita belum berkembang dengan baik.Maka dianggap perlu memberikan stimulus terhadap pengembangan kreativitas remaja. Bagimana anak (remaja) berperan terhadap lingkungan sekitarnya tergantung kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.  Lingkungan yang paling berpengaruh adalah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Agar dapat mengikuti atau menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, anak harus memperhatikan situasi yang berkembang di sekitarnya. Agar mapu tercipta pemuda pemudi yang kreatif untuk membangun bangsa ini.

 

 

3.2. Referensi

Hewitt, K, Rayner  (2006). A lonely World, Jakarta,  November 2003,  Prestasi Pustakarya.

Paul Gorski, Paradigm Shiifd For Education and The Question dalam www. Edchange.org

Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya.

http://www.findarticle/cf_0/92602/0003/2602000388/p1/article.jhtml?term=pluralism.